Benarkah Indonesia Sudah Kehilangan Nilai Luhur Bangsa?
Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin mengatakan Indonesia cenderung kehilangan suatu nilai luhur bangsa yang telah diwariskan oleh pendiri bangsa sejak berakhirnya pemerintahan orde baru.
“Rakyat Indonesia sudah jauh dari empat pilar negara nampak dari yang telah kita saksikan di tengah arus globalisasi ini,” kata Lukman dalam siaran pers MPR yang diterima di Jakarta, Jumat [28/09].
Empat pilar itu adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika yang kini kerap disosialisasikan kalangan legislatif. “Karakter bangsa seolah tenggelam dalam arus globalisasi. Praktis sejak saat itu tidak ada lembaga negara yang mensosialisasikan atau memasyarakatkan nilai-nilai luhur bangsa secara intensif dan sistematis,” kata Lukman.
Dia mengatakan rakyat Indonesia merindukan nilai-nilai yang sesungguhnya sudah dimiliki sejak NKRI berdiri. “Pancasila telah menjadi hal yang mendasar dalam menata kehidupan berbangsa ini. Lima sila itu merupakan pedoman bagi bangsa Indonesia dalam membentuk karakter bangsa yang majemuk,” katanya.
Masalah-masalah seperti konflik di daerah, tawuran pelajar, korupsi, kolusi dan nepotisme akan berpengaruh terhadap nasionalisme sehingga hal ini dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.
Di era globalisasi ini jika permasalahan bangsa tidak segera diperbaiki, maka bisa saja bangsa ini akan menuju pada kehancuran. ”Diperlukan aktualisasi nilai-nilai Pancasila,” kata Wakil Ketua MPR itu. Sejauh ini legislatif sering mengadakan acara berkenaan dengan pemahaman empat pilar negara ke berbagai daerah.
Dalam minggu ini MPR sedang mengadakan pelatihan nilai-nilai bangsa kepada 100 orang yang terdiri dari guru PKn, dosen, pendidik pondok pesantren serta perwakilan organisasi keagamaan selama 4 hari (27) 30 September) di Palu.
Beberapa saat sebelumnya di Jakarta, Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri mengkritik pelatihan empat pilar negara.
“Pendidikan dan berbagai kegiatan sosialisasi sejak orde baru dan sekarang menunjukkan penerapan yang hanya mengendap pada kognisi (kecerdasan) saja tidak sampai pada afeksi (sikap),” katanya.
Berbagai kegiatan sosialisasi Pancasila hanya melatih kecerdasan saja seperti kegiatan lomba cerdas cermat, pidato, seminar, bahan ajar, dan semacamnya.
Ketua Dewan PPAD itu mengatakan bilamana sistem pemahaman Pancasila harus ditanamkan menjadi budaya bukan hanya melalui kegiatan sosialiasi.
Selain itu, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri menganggap Sisdiknas belum mengarah pada nasionalisme karena mengarah kepada kecerdasan otak saja. “Sisdiknas sekarang sekedar berbasis kompetensi, seharusnya direvisi menjadi kurikulum Pancasila,” katanya.
Dia meyakini sistem tersebut dapat membangun afeksi Pancasila karena lebih sistematis bila dilakukan secara terpadu. Apalagi bila keluarga dan lingkungan sekitar mendukung pembudayaan empat pilar negara itu.
“Pada Olimpiade Sains, Indonesia sering mengalahkan negara besar seperti Jepang. Tapi pengetahuan ke-Indonesiaan-nya terkadang rendah,” katanya. Menurut dia, ada beberapa dari mereka yang tidak tahu mengenai ibukota Propinsi Jawa Tengah atau budaya daerah dari Indonesia.
Jaga Keutuhan Indonesia
Anggota MPR RI Rahadi Zakaria menilai penguatan karakter bangsa di negara pluralisme seperti Indonesia sangat penting untuk menjaga keutuhan dan mencegah perpecahan. “Tidak ada garansi negara akan tetap utuh apabila tidak memiliki karakter bangsa,” kata Rahadi dalam siaran pers MPR yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat.
Masalah karakter bangsa, lanjut Rahadi, bukanlah barang baru. Sebab, karakter bangsa adalah salah satu hal yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa sehingga mampu mengantarkan Indonesia menuju merdeka.
Penguatan karakter bangsa juga penting agar Indonesia terhindar dari perpecahan seperti yang terjadi di Uni Soviet atau Yugoslavia. Bahkan runtuhnya Kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan kerajaan lainnya juga karena lemahnya karakter bangsa yang mereka miliki.
Anggota MPR Fraksi PDI Perjuangan itu menilai kasus tawuran warga, korupsi, perkelahian pelajar yang akhir-akhir ini semakin marak, serta peristiwa kekerasan lainnya merupakan indikasi rapuhnya karakter bangsa, terutama setelah era reformasi. ‘Pasca reformasi pembentukan karakter bangsa itu tampak samar-samar di lorong yang gelap,’ katanya.
Atas dasar itulah, Rahadi mengajak masyarakat untuk senantiasa mengawal pemahaman dan implementasi Ketetapan MPR No. VII Tahun 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
Dia berharap visi Indonesia masa depan bisa terlaksana sesuai dengan karakteristik dan nilai-nilai luhur bangsa, seperti terkandung dalam 4 Pilar Bangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari, dalam sebuah diskusi di Jakarta, mengemukakan pentingnya pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam salah satu pilar bangsa, yaitu Pancasila, untuk menjaga kesatuan. “Seolah tidak ada kesatuan dan kesepahaman dalam mengisi reformasi, sehingga filosofi dan nilai-nilai Pancasila gagal diwujudkan,” katanya.
Sumber
0 comments:
Post a Comment