Tuesday, September 25, 2012

Perjuangan Panjang Seorang Wartawan Meraih Gelar Sarjana Negara


Wartawan Waspada Aidi Yursal saat dilantik dan menerima ijazah sarjana negara Rektor Ir. Pantas Semanjuntak, MM dan Dekan Fakultas Sastra Ingris Drs. Himpun Panggabean, M.Hum pada acara Wisuda Universitas Methodist Indonesia (UMI) Medan 28 Juli lalu diConvention Hall Hotel Danau Toba International Medan. Acara pelantikan dan penyerahan ijazah negara itu juga disaksikan langsung Koordinator Kopertis Wilayah I Sumut-Aceh Prof.ir.H.M.Nawawiy Loebis, M.Phil;, P.hD ( Berita Sore/ist )

Medan ( Berita ) : Meliput berbagai berita peristiwa bencana alam ataupun konflik dan perang yang berkobar di dalam dan luar negeri, atau mencari nara sumber sampai melibatkan diplomat asing untuk diwawancarai, jelas tak perlu diragukan bagaimana kecekatan seorang wartawan profesional di lapangan.

Rupanya tak jauh beda yang diperagakan seorang wartawan dalam meraih sukses di dunia pendidikan tinggi. Tanpa mau menyerah setapak pun meski sudah bagaikan termakan usia, perjuangan panjang hampir tiga puluh tahun, hanya untuk mendapat secarik kertas ijazah sarjana negara dari perguruan tinggi Universitas Methodist Indonesia (UMI), itulah yang dibuktikan oleh sosok seorang wartawan Harian Waspada bernama Aidi Yursal.

Sebagai seorang pria kelahiran Silabuk, Parambahan, Kabupatan Tanah Datar, (Batusangkar), Sumatera Barat pada 58 tahun silam, Yursal yang dalam kerap disapa “Song”, dan Aye (k) atau Aidi di kalangan insan pers, mengaku memulai karir wartawan di Harian Waspada pada akhir tahun 1983, setelah lima tahun lebih mengabdi di bidang perhotelan di Hotel Danau Toba International Medan.

“Saya hengkang dari dunia perhotelan dan memutuskan untuk bekerja di perusahaan pers sebagai wartawan, walau waktu itu ada tawaran dari perusahaan gas PT.ARUN Lhokseumawe dan perusahaan minyak asing di Provinsi Riau,”katanya, mengenang masa-masa lajang setelah menyelesaikan pendidikan tinggi di Fakultas Sastra Inggris, UMI Medan. Namun waktu itu belum mendapatkan sarjana dan ijazah negara yang didambakan sampai-sampai menjadi ajang perburuan dalam hidupnya selama hampir tiga dekade.

Dia juga mengenang masa remaja yang sempat berbagi hati dan waktu antara sekolah (PGAN 4/6 Tahun) sekitar tahun 1970-an dan mengelola lahan peninggalan almarhum ayahnya Rasyiddin Bilal Sampono dan almarhumah Hj. Upik Putih dengan ditanami tanaman keras jenis cengkeh. “Kalau tidak dikarenakan kuatnya tuntutan terhadap ilmu pengetahuan untuk berkuliah di perguruan tinggi, khususnya pada jurusan bahasa asing atau bahasa Inggris, saya itu sudah terjun sebagai petani cengkeh benaran di kampung saya di Sumbar, walau akhirnya tanaman cengkeh milik saya yang sudah sempat panen beberapa tahun, mati akibat tidak terawat bersama pohon cengkeh milik para petani lain di berbagai daerah di Indonesia, yang dituding sebagai “dosa besar” Tommy Soeharto yang tidak memperbolehkan hasil panen cengkeh rakyat dijual ke pasar bebas kecuali ke KUD, sementara KUD itu sendiri tidak punya dana.

Ketika ditanya kenapa tak langsung ikut ujian negara waktu itu setelah mendapatkan ijazah lokal dengan gelar (Drs) di fakultas Sastra inggris, UMI Medan, Yursal yang pernah memegang berbagai jabatan di Harian Waspada, antara lain Sekretaris Redaksi, Kepala Personalia, Kepala Promosi Iklan, Litbang dan Humas, Redaktur Ekonomi, Wakil Redaktur Luar Negeri dan lainnya, mengaku kondisi pelaksanaan dan pengawasan perguruan tinggi swasta di Indonesia pada era Orde Baru , termasuk di Sumatra Utara, tidak seperti sekarang ini di era reformasi.

Pada era reformasi ini, menurut Yursal, pemerintah Indonesia melalui Menteri Pendidikan Nasional telah memberikan wewenang penuh dalam bentuk otonomi kepada masing-masing perguruan tinggi dan universitas swasta yang disahkan melalui hasil evaluasi Akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN)-Perguruna Tinggi (PT) yang berada di bawah Mendiknas RI.

Sementara sebelum era reformasi, umumnya perguruan tinggi swasta harus mengirim lulusan (sarjana) lokal untuk kembali diuji di Kopertis, lembaga perpanjangan tangan pemerintah, guna mendapat ijazah sarjana negara. Waktu itu perbedaan perguruan tinggi swasta dan negeri sangat kental, namun sekarang dibedakan oleh status akreditasi yang dikeluarkan pemerintah.

Yang sangat menyulitkan dan malah tidak salah jika disebut cukup merugikan kalangan mahasiswa, terutama kalangan lulusan perguruan tinggi swasta, tanpa kecuali di Fakultas Sastra Inggris, UMI, menurut Aidi, adalah seperti ada kesan tertutup untuk diketahui, baik sewaktu mendaftar maupun saat mengikuti perkulihan, apakah mahasiswa itu sudah didaftarkan oleh pihak Universitas ke Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta) atau belum. Lagi pula waktu era sebelum tahun 1980-an itu, kantor Kopertis Wilayah Sumut-Aceh tidak jelas karena bergabung dengan USU, dan bukan seperti sekarang ini sudah punya bangunan khusus sebagai kantornya.

“Jadi di situ persoalan pertama kenapa saya dan mungkin rekan lain dari fakultas yang sama atau pergurun tinggi lain tidak bisa atau sangat sulit mengikuti dan memperoleh ijazah sarjana yang diakui negara waktu itu,” kata Yursal yang mengaku sebagai wartawan Indonesia pertama yang berhasil masuk kubu pertahanan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) bersama wartawan asing dari Harian Asahi Shimbun, Jepang, pasca tergulingnya Presiden Soeharto tahun 1998, dan mulai bergulir era reformasi. Dia juga tercatat sebagai satu-satunya wartawan Indonesia dari Harian Waspada yang berhasil menjalin hubungan komunikasi selama hampir tiga tahun dengan pihak GAM (Ismailsyah Putra) sehingga bisa selalu mengkorfimasi berita kerusuhan dan aksi kontak senjata tembak-menembak di Aceh pad waktu itu.

Kalau dihitung-hitung, perjuangan panjang hampir 30 tahun baru mendapatkan ijazah dan gelar sarjana negara, tidak akan mungkin bisa dilakukan oleh semua orang walau dengan tingkat dan bentuk permasalahan yang sama yang dalam hal ini perjuangan mendapatkan ijazah negara.

“Bagi saya pengalaman sebagai seorang wartwan dalam meliput berbagai kejadian dan peristiwa, termasuk sewaktu peliputan penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja sekitar tahun 1989 yang nyaris ditangkap pasukan pemelihara keamanan dari pasukan gabungan PBB, juga ikut memotivasi diri saya untuk mampu mengerjakan tugas-tugas berat lainnya di luar tugas jurnalistik, seperti halnya perjuangan untuk diri peribadi saya mendapatkan ijazah dan sarjana negara,” kata wartawan senior yang sering mengadakan liputan bersama dengan wartawan asing asal Amerika dan Eropa serta pernah jadi kontributor majalah terbitan Hongkong “Far Eastern Economic Review, perwakilan Medan, sudah banyak melakukan perjalanan jurnalistik ke berbagai negara, termasuk ikut dalam program pertukaran wartawan negara-negara Asean, meliput seminar ahli kandungan Internasional yang diikuti 78 negara di Singapura, menghadiri undangan dari pemerintah India.

Dia sendiri mengakui ijazah sarjana negara yang diperolehnya bukan serta merta diraih tanpa proses. Dengan izin Kopertis Wilayah I Sumut-Aceh, dia harus kembali mengikuti kuliah untuk mata kuliah tertentu dan kemudian mengkonversi thesisnya yang berjudul ; “Word Formation In The Bahasa Minangkabau As Observed From The Bahasa Indonesia’s Morphological Point of View” untuk diuji dalam suatu sidang Green Table Exam oleh dua Guru Besar dari pakar Bahasa Inggris masing-masing Prof.Drs.DM.Aruan dan Prof.Dr.M.Silitonga bersama dekan Fakultas Sastra Inggris, UMI Medan, Drs.Himpun Panggabean, M.Hum dan Drs.Sependi Napitupulu, M.Hum yang berhasil lulus dengan nilai baik.

Sementara acara wisuda berlangsung 28 Juli 2012 lalu di Convention Hatel Danau Toba Jl.Imam Bonjol Medan bersama 553 lulusan lain dari fakultas Kedokteran, Ekonomi, Pertanian dan lainnya di UMI Medan dengan hadiri langsung Koordinator Kopertis Wilayah I Sumut-Aceh Prof.Ir.H.M.Nawawiy Loebis, M.phil, P.hD dan pemakaian toga dan penyerahan ijazah oleh Rektor UMI Ir.Pantas Simanjutak,MM.

“Kini saya lebih percaya diri lagi karena apa yang saya impikan dan perjuangkan selama hampir 30, Alhamdulillah sudah berhasil terwujud,” katanya dengan mengaku ijazah sarjana negara yang sudah diperoleh itu bagaikan melebihi dari segala-galanya.

Saking penting dan berharganya ijazah tersebut, Aidi sempat berandai-andai. “Kalau ada pihak yang menawarkan dua pilihan, dianugerahi ijazah negara atau menerima hadiah satu miliar rupiah umpamanya, kalau tidak boleh ambil dua-duanya, saya tetap akan pilih ijazah negara,” kata wartawan yang sudah meraih gelar Doktor honoris causa (HC) dari Science Homeo Institute for Asean Countries, Malaysia tahun 2002, dan juga telah dianugerahi Marga Sinambela saat peresmian tugu Raja Si Oloan di Bakkara, tepi kawasan Danau Toba, sekitar tahun 1989.

Sebagai wartawan senior yang pernah menjadi pengurus PWI Cabang Sumut dan sebagai wartawan yang memiliki kartu dan sertifikat Kompetensi Wartawan setelah lalus ujian kompetensi awal Januari lalu dari Dewan Pers Indonesia, dirinya mengaku lega , karena tidak khawatir ada ganjalan dalam soal ijazah sarjana jika ada niat mengembangkan karir atau profesi, termasuk juga andaikata mau mencalonkan diri untuk jadi anggota legislatif RI, jadi calon Bupati, Wali Kota atau Gubernur, atau mungkin saja ada ditawarkan jabatan Dubes nanti, ya kita tidak lagi bermasalah dengan ijazah dan kesarjanaan kita.

Karena dalam pengamatannya, permasalahan sah atau tidaknya ijazah saat ini sangat sensitif karena sering dijadikan oleh pihak lain untuk menghabisi seorang calon yang hendak maju.

Kunci dalam meraih sukses itu seperti halnya dalam berburu mendapatkan ijazah sarjana negara, menurut Yusral, adalah perjuangan keras sepenuh hati (sungguh-sungguh) dan ikhlas yang terprogram disertai sambil tetap berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kapan dan di mana saja tanpa henti. “Keberhasilan meraih impian yang nyaris hilang karena termakan waktu dan usia, bukan berarti selesailah perjuangan saya semuanya. Kalau ini sudah selesai, perjuangan lain sudah menunggu pula,” katanya dengan menyebutkan perjuangan ini tidak boleh berhenti demi untuk perubahan hidup dan kehidupan yang lebih baik ke depan.

Sumber

0 comments:

Post a Comment