Renungan : Kisah Hidup Tasripin
Beberapa hari terakhir ini, seorang bocah berumur 12 tahun menjadi sorotan berbagai media. Dia adalah Tasripin, warga Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas.
Anak sekecil itu terpaksa harus menggantikan peran ayah dan ibu untuk mengurus ketiga adiknya yang masih kecil, Riyanti (9), Dandi (7), dan Daryo (5). Ayah mereka harus bekerja ke sebuah perkebunan sawit di Kalimantan bersama kakak Tasripin sedangkan Ibu mereka meninggal dua tahun lalu dalam bencana longsor yang menimpa daerah mereka.
Sejak saat itu, Tasripin menjadi pengganti orangtua bagi adik-adiknya. Setiap hari, bocah yang sudah lama putus sekolah itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga mulai dari memasak, mencuci, dan mengurus keperluan rumah tangga lainnya. Ia juga harus memandikan dan menidurkan adik-adiknya jika malam tiba.
Tidak hanya itu saja, Tasripin harus menjadi buruh tani saat pagi hari untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dan adik-adiknya.
“Kalau berangkat ke sawah jam 7 pagi dan pulang jam 12 siang. Kadang sehari dapet Rp 30 – 40 ribu sehari. Itu beli beras dan sayur. Sisanya untuk jajan adik,” katanya polos seperti dikutip oleh Detik.com, Kamis, 18 April 2013.
Agar kebutuhan harian mereka bisa tercukupi, Tasripin yang masih kecil itu harus bisa mengelola uang yang ia peroleh sebaik mungkin. Makanan yang ia konsumsi sehari-hari pun jauh dari standar gizi yang memadai. Karenanya, tak jarang mereka makan nasi dengan lauk kerupuk.
“Kadang saya beri lauk slobor (tumbuhan gunung) untuk adik-adik. Terus kalau adik rewel, saya kadang mendiamkan dengan cara membentak ringan atau memberi uang, itu kalau ada. Sementara kalau adik sakit, saya paling belikan obat puyer di warung,” cerita Tasripin lagi seperti dikutip oleh sumber lain, Okezone.com.
Kisah hidup Tasripin memang sangat mengharukan. Namun tentu saja Tasripin tidak sendiri sebab ada jutaan Tasripin lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Menurut pengamatan Sosiolog Unsoed, Sulyana Dadan, kisah Tasrpin merupakan puncak gunung es kemiskinan yang ada di Banyumas.
“Masih banyak Tasripin lain di Banyumas,” katanya, Kamis, 18 April 2013 kepada Tempo.co.
Tasripin cukup ‘beruntung’ karena kisah hidupnya diangkat oleh media massa dan menjadi perhatian publik. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut memberikan simpatinya terhadap bocah kecil itu lewat situs mikroblogging, Twitter.
Menurut sosiolog itu lagi, fenomena Tasripin adalah bukti keterlambatan pemerintah daerah dalam menangani kasus kemiskinan di daerahnya. Untungnya masyarakat di tempat Tasripin tinggal masih memiliki rasa solidaritas yang sangat tinggi sehingga anak-anak kecil itu masih bisa bertahan hidup.
Foto Tasripin bersama adik-adiknya :
Video Tasripin :
Sumber
Anak sekecil itu terpaksa harus menggantikan peran ayah dan ibu untuk mengurus ketiga adiknya yang masih kecil, Riyanti (9), Dandi (7), dan Daryo (5). Ayah mereka harus bekerja ke sebuah perkebunan sawit di Kalimantan bersama kakak Tasripin sedangkan Ibu mereka meninggal dua tahun lalu dalam bencana longsor yang menimpa daerah mereka.
Sejak saat itu, Tasripin menjadi pengganti orangtua bagi adik-adiknya. Setiap hari, bocah yang sudah lama putus sekolah itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga mulai dari memasak, mencuci, dan mengurus keperluan rumah tangga lainnya. Ia juga harus memandikan dan menidurkan adik-adiknya jika malam tiba.
Tidak hanya itu saja, Tasripin harus menjadi buruh tani saat pagi hari untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dan adik-adiknya.
“Kalau berangkat ke sawah jam 7 pagi dan pulang jam 12 siang. Kadang sehari dapet Rp 30 – 40 ribu sehari. Itu beli beras dan sayur. Sisanya untuk jajan adik,” katanya polos seperti dikutip oleh Detik.com, Kamis, 18 April 2013.
Agar kebutuhan harian mereka bisa tercukupi, Tasripin yang masih kecil itu harus bisa mengelola uang yang ia peroleh sebaik mungkin. Makanan yang ia konsumsi sehari-hari pun jauh dari standar gizi yang memadai. Karenanya, tak jarang mereka makan nasi dengan lauk kerupuk.
“Kadang saya beri lauk slobor (tumbuhan gunung) untuk adik-adik. Terus kalau adik rewel, saya kadang mendiamkan dengan cara membentak ringan atau memberi uang, itu kalau ada. Sementara kalau adik sakit, saya paling belikan obat puyer di warung,” cerita Tasripin lagi seperti dikutip oleh sumber lain, Okezone.com.
Kisah hidup Tasripin memang sangat mengharukan. Namun tentu saja Tasripin tidak sendiri sebab ada jutaan Tasripin lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Menurut pengamatan Sosiolog Unsoed, Sulyana Dadan, kisah Tasrpin merupakan puncak gunung es kemiskinan yang ada di Banyumas.
“Masih banyak Tasripin lain di Banyumas,” katanya, Kamis, 18 April 2013 kepada Tempo.co.
Tasripin cukup ‘beruntung’ karena kisah hidupnya diangkat oleh media massa dan menjadi perhatian publik. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut memberikan simpatinya terhadap bocah kecil itu lewat situs mikroblogging, Twitter.
Menurut sosiolog itu lagi, fenomena Tasripin adalah bukti keterlambatan pemerintah daerah dalam menangani kasus kemiskinan di daerahnya. Untungnya masyarakat di tempat Tasripin tinggal masih memiliki rasa solidaritas yang sangat tinggi sehingga anak-anak kecil itu masih bisa bertahan hidup.
Foto Tasripin bersama adik-adiknya :
Video Tasripin :
Sumber
0 comments:
Post a Comment